Senin, 15 Agustus 2011

Cerpen






LAYANGAN PUTUS
 

   Mana orang itu? Katanya akan datang ke pameran perdana museum layang-layang, kenapa sampai sekarang belum menyusul? batinku gelisah.
Aku melancarkan pandangan mengelilingi ruangan, kudapati seorang anak kecil berlari mendekati sebuah layangan putih sederhana yang dipajang di sudut. Aku menghampiri anak itu berniat menyapanya sebelum ia  bergerak gesit; ia menyentuh layang-layang putih itu dan menariknya hingga putus.
“Hei!!”
Terlambat. Layangan itu sudah putus. Ketika itu aku mendengar namaku bergaung, seseorang memanggilku, tapi orang itu tidak di sini.

“DI! DIDI!” jerit Tri di depan pintu sebuah rumah laksana istana.
“Dididididi…Didi!! Didididi!!!”
Merasa tidak direspon, Tri, bocah berusia sepuluh tahun yang mengenakan kaos Power Ranger kesayangannya dengan celana selutut, memutuskan paduan suara di teras rumah Didi. Tri tahu Didi paling benci suara cempreng khas Tri. Kalau Didi tidak mau keluar, seenggak-enggaknya dia melempar sandal dari jendela, lumayan buat diloakin.
Tri mendengar langkah-langkah kecil tergesa di sisi lain pintu.
“Tri!” Didi, bocah perempuan rambut kuncir dua yang paling hobi pake baju anak laki-laki itu membuka pintu.
“Hai Didi, kejar layangan putus, yuk!” tawar Tri.
“Aku ngga boleh keluar sama Mama, katanya aku nyaris gosong, maksudnya apaan sih?” Didi duduk bersila di depan pintu.
“Emangnya mama kamu ada?” tanya Tri.
Didi menggeleng, “lagi kerja,”
Tri langsung berbinar, matanya menatap langit biru tak berawan penuh bercak warna-warni yang mereka kenal namanya layangan.
“Bakal banyak yang putus nih…”
Didi ikut berbinar, hampir ngiler mamandang langit.
“Tapi terserah kamu deh, Di. Kalo kamu mau ngejar layangan, aku ikut, kalo engga, aku tetap ikut anak lain. Hehe…,” Tri garing.
Didi membayangkan Mama keluar gigi taring, matanya terbelalak merah, dan kaki rada ngambang saking marahnya karena Didi keluar. Tapi bayangan itu pudar berganti bayangan dirinya, Tri serta anak-anak lain pada mengejar layangan. Mereka memang tidak punya layang-layang, mereka sengaja itu. Punya sesuatu bukan segalanya yang bikin orang senang. Tapi mengejar sesuatu tanpa kepastian akan memilikinya atau tidak, itu menyenangkan. Biasanya, mereka hanya duduk di sisi lapangan, menunggu layangan anak lain putus lalu mengejarnya sampai dengkul berdarah-darah, kulit lecet-lecet, keseleo segala persendian. Karena layangan yang putus berarti bukan milik siapa-siapa. Jadi siapa saja yang berhasil menemukan layang-layang itu maka dia telah memilikinya, sekalipun layangan itu sudah rusak berat.
Didi dan Tri punya banyak layangan rusak. Sampai sekarang mereka berdua dianggap jagoan pengejar layangan putus, dan keduanya tidak rela gelar kehormatan itu dicopot dengan absennya mereka hari ini di lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar